Sunday, 2 March 2014

Penyebaran Islam DI Sulawesi Selatan

Walaupun banyak yang sudah tahu, bahwasanya ada tiga orang datuk yang berasal dari tanah Sumatera, yang mengislamkan wilayah-wilayah kerajaan di Sulawesi Selatan pada abad ke 16, yaitu Khatib Tunggal Datuk Makmur, atau populer di kalangan masyarakat Sulsel dengan nama Datuk Ribandang. Khatib Sulung Datuk Sulaiman dikenal Datuk Patimang. Syekh Nurdin Ariyani dikenal dengan nama Datuk DiTiro. Apa dan bagaimana perjuangan dan kiprah mereka dalam penyebaran agama islam di Sulawesi Selatan ini ? Berikut ini ulasannya : · Wilayah Tallo dan Goa : Sekitar awal abad ka 17, ketiga orang datuk ini mengislamkan Raja Tallo, pada hari Jumat 14 Jumadil Awal atau 22 September 1605, kemudian menyusul Raja Gowa XIV, yang akhirnya bernama Sultan Alauddin.” Kerajaan Tallo dan kerajaan Gowa merupakan kerajaan kembar yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Bahkan Mangkubumi (Perdana Menteri) kerajaan Gowa adalah juga Raja Tallo. Raja Tallo XV, Malingkaan Daeng Manynyonri merupakan orang pertama di Sulsel yang memeluk agama Islam melalui seorang ulama dari pantai Barat Sumatera, Khatib Tunggal Datuk Makmur, atau populer di kalangan masyarakat Sulsel dengan nama Datuk Ribandang. Oleh karena itu pulalah kerajaan Tallo sering disebut-sebut atau diistilahkan sebagai pintu pertama Islam di daerah ini atau dalam bahasa Makassar ” Timunganga Ri Tallo”. Kemudian Raja Gowa secara resmi mengumumkan bahwa agama resmi kerajaan Gowa dan seluruh daerah bawahannya adalah agama Islam. Sebelum masuknya agama Islam di Sulsel, masyarakat masih menganut kepercayaan animisme. Dalam riwayat dikisahkan bahwa awalnya Datuk Ribandang sendiri bersama kawannya dilihat oleh rakyat kerajaan Tallo sedang melakukan shalat Asyar di tepi pantai Tallo. Karena baru pertama kalinya itu rakyat melihat orang shalat, mereka spontan beramai-ramai menuju istana kerajaan Tallo untuk menyampaikan kepada Raja tentang apa yang mereka saksikan. Raja Tallo kemudian diiringi rakyat dan pengawal kerajaan menuju tempat Datuk Ribandang dan kawan-kawannya melakukan shalat itu. Begitu melihat Datuk Ribandang sedang shalat, Raja Tallo dan rakyatnya secara serempak berteriak-teriak menyebutkan ”Makkasaraki nabi sallalahu” artinya berwujud nyata nabi sallallahu. Inilah salah satu versi tentang penamaan Makassar, itu berasal dari ucapan ‘Makkasaraki’ tersebut yang berarti kasar/nyata. Ada beberapa versi tentang asal mula dinamakannya Makassar selain versi tersebut. Datuk Ribandang sendiri menetap di Makassar dan menyebarkan agama Islam di Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan wafat di Tallo. Sementara itu dua temannya, masing-masing Datuk Patimang yang nama aslinya Khatib Sulung Datuk Sulaiman, menyebarkan agama Islam di daerah Suppa, Soppeng, Wajo dan Luwu, dan wafat dan dikebumikan di Luwu. Sedang Datuk RiTiro atau nama aslinya Syekh Nurdin Ariyani berkarya di sejumlah tempat meliputi Bantaeng, Tanete, Bulukumba. Dia wafat dan di makamkan di Tiro atau Bontotiro sekarang. Dengan kedatangan kolonial Belanda , seluruh benteng-benteng pertahanan kerajaan Gowa di hancurkan kecuali benteng Somba Opu yang diperuntukkan bagi kerajaan Gowa dan benteng Ujungpandang (Fort Rotterdam) untuk pemerintahan kolonial Belanda, benteng pertahanan kerajaan Tallo juga dihancurkan. Penghancuran benteng-benteng pertahanan kerajaan Gowa-Tallo itu sesuai perjanjian Bungaya, 18 Nopember 1667, yang merupakan pula tahun kemunduran kejayaan kerajaan Gowa-Tallo waktu itu. · Makassar – Bulukumba – Luwu ; Sentuhan ajaran agama islam yang dibawa oleh ulama besar dari Sumatera itu, juga terdapat di Bagian selatan Sulawesi Selatan yang lain, yaitu Kabupaten Bulukumba, yang bertumpu pada kekuatan lokal dan bernafaskan keagamaan”. masing-masing dibawa oleh 3 orang Datuk ; bergelar Dato’ Tiro (Bulukumba), Dato Ribandang (Makassar), dan Dato Patimang (Luwu), Sementara dalam itu sejarah Islam Kabupaten Luwu dan Palopo, menerangkan bahwa kira-kira pada akhir abad XV M dan kira-kira pada tahun 1013 H, Agama Islam masuk didaerah Luwu yang dibawah oleh seorang alim Ulama yang arief ketatanegaraannya yaitu Datuk Sulaeman asal Minangkabau. Pada waktu itu Luwu diperintah oleh seorang Raja yang bernama Etenrieawe. Ketika Datuk Sulaeman mengembangkan ajaran agama Islam di wilayah ini, hampir seluruh masyarakat Luwu menerima agama itu. Ketika itu kerajaan dibawah naungan Pemerintahan Raja Patiarase yang diberi gelar dengan Sultan Abdullah ( saudara kandungnya bernama Patiaraja dengan gelar Somba Opu) sebagai pengganti dari Raja Etenriawe, kemudian Datuk tersebut dalam mengembangkan Misi Islam, dibantu oleh dua ulama ahli fiqih yaitu Datuk Ribandang yang wafat di Gowa, dan Datuk Tiro yang wafat di Kajang Bulukumba .dan Datuk Sulaeman wafat di Pattimang Kecamatan Malangke, _+ 60 Km jurusan utara Kota Palopo melalui laut . Datuk Sulaeman yang berasal dari Minangkabau ini kemudian dikenal dengan nama Datuk Patimang, karena beliau wafat dan dimakamkan di Pattiman. Tak kurang ada sebuah hikayat yang mengkisahkan bahwa Al Maulana Khatib Bungsu (Dato Tiro) beserta kedua sahabatnya (Datuk Patimang dan Datuk Ribandang) mendarat di pelabuhan Para-para. Setibanya di darat, ia langsung menuju perkampungan terdekat untuk memberitahukan kedatangannya kepada kepala negeri. Namun dalam perjalanan menuju rumah kepala negeri, Dato Tiro merasa haus, dan beliau pun bermaksud untuk mencari air minum namun disepanjang pantai tersebut tidak terdapat sumur yang berair tawar. Dato Tiro menghujamkan tongkatnya di salah satu batu di tepi pantai Limbua sambil mengucap kalimat syahadat “Asyhadu Ala Ilahaillallah wa Ashadu Anna Muhammadarrasulullah”, anehnya setelah tongkatnya dicabut, keluarlah air yang memancar dari lubang di bibir batu tersebut. Pancaran air sangat besar dan tidak henti-hentinya mengalir sehingga akhirnya membentuk sebuah genangan air.Penduduk dan para pelaut kemudian memanfaatkan mata air ini untuk keperluan hidup sehari-hari. Hingga saat ini mata air tersebut tidak pernah kering dan ramai dikunjungi masyarakat. Sesungguhnya sebelum kedatangan tiga orang datuk ke tanah Bugis ini, telah ada beberapa penganjur Islam selain tiga orang datuk dari minangkabau, yaitu Sayyid Jamaluddin al-husayni al akbari yang merupakan kakek dari Walisongo. Ini berarti Islam sudah datang ke tanah Bugis, pada saat kedatangan para datuk’ (Datuk riBandang, Datuk riTiro dan Datuk riPatimang). Namun diterimanya agama Islam di kerajaan-kerajaan Bugis Makassar pada tahun 1598 (Gowa dan Luwu), menyusul Ajatappareng (Sidenreng, Rappang, Sawitto) pada tahun 1605, Soppeng (1607), Wajo (1609), dan Bone (1611) adalah berkat usaha ketiga para Datuk riBandang ini. Ia mengislamkan Karaeng Matoaya yang merupakan Mangkubumi kerajaan Makassar. Datuk Patimang (Datuk Sulaiman) mengislamkan Daeng Parabbung Datu Luwu dan Datuk riTiro memilih berdomisili di Bulukumba yang merupakan daerah perbatasan Bone dan Gowa untuk syiar Islam. Islamnya Gowa adalah simbolitas kekuatan militer dan Luwu adalah pusat mitos Bugis Makassar. Dengan pengislaman dua kerajaan besar ini maka tidak ada alasan untuk menolak Islam bagi rakyatnya

Awal Masuknya Islam di Sulawesi Selatan

Setelah kerajaan Malaka (Malaysia) jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 dan arus niaga di pulau Jawa menurun maka pusat perdagangan Nusantara berpindah ke Makassar di bawah pemerintahan kembar Gowa-Tallo, daerah ini lalu dijadikan sebagai the Second Malacca. Sebagai Bandar niaga terbesar di Nusantara, maka berdatanganlah para pedagang dari berbagai penjuru, mulai pebisnis dari belahan bumi Nusantara maupun yang datang dari luar, seperti India, Persia, Arab, Afrika, Cina, dan Eropa. Para pedagang tersebut masing-masing datang dengan latar belakang yang berbeda, beda budaya, bangsa, bahasa, kepercayaan, dan seterusnya. Yang jelas saat itu Makassar sudah termasuk salah satu dari pusat tata niaga kelas dunia yang sangat diperhitungkan. Datangnya pedagang yang beragama Islam memiliki cerita tersendiri, diperkirakan para pedagang inilah yang pertama kali memperkenalkan Islam baik dalam skala Nusantara maupun skala lokal di Makassar. Sejarah yang sangat masyhur tetang masuknya Islam di Sulawesi Selatan adalah yang terdapat dalam Lontara Latoa (kronik) yang dikenal sebagai priode Galigo. Saat itu masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis dan Makassar, memiliki kepercayaan terhadap dewa yang disebut Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha Esa), sisa-sisa kepercayaan ini masih dapat disaksikan hingga kini pada masyarakat Lotang dan Kajang di Bulukumba. Disebutkan bahwa awal kedatangan Islam secara terang-terangan di Sulawesi Selatan adalah dibawa oleh tiga dai berasal dari Minangkabau yang terkenal dengan Datu’ Tellue atas perintah dari Raja Johor ketika itu, meraka adalah: Abdul Qadir Datuk Tunggal dengan julukan Datuk ri Bandang, Sulung Sulaeman sebagai Datuk Patimang, dan Khatib Bungsu sebagai Datuk ri Tiro. Ketiga Ulama di atas menggarap lahan yang berbeda, Datuk ri Bandang menggarap kerajaan kembar Gowa-Tallo dan Datuk Patimang menjelajah ke kerajaan Luwu sedang yang terakhir adalah Khatib Bungsu yang masuk berdakwah pada masyarakat di daerah Tiro yang kini termasuk daerah Bulukumba dan kemudian hari beliau diberi gelar sebagai Datuk ri Tiro, untuk mengabadikan nama tempat beliau berdakwah. Ketiga para dai di atas memiliki metode atau cara yang berbeda antara satu sama lain, mereka berdakwah sesuai situasi, kondisi dan toleransi pada obyeknya. Khatib Bungsu alias Datuk ri Tiro misalnya, melihat fenomena masyarakat daerah Tiro Bulukumba terdiri dari para penganut faham animisme atau percaya pada hal-hal yang berbau mistik maka beliau memperkenalkan agama Islam dengan menggunakan metode dan ajaran tasawuf disertai dengan pendekatan kultural. Masyarakat setempat dapat menerima ajaran agama Islam dengan sukarela dan tanpa ada paksaan sedikit pun, berbeda dengan para sejawatnya Abdul Qadir Datuk Tunggal alias Datuk ri Bandang dan Sulung Sulaeman sebagai Datuk Patimang, mereka berdua ini berdakwah dengan metode struktural, metodenya jelas berbeda dengan pendekatan kultural, karena untuk menebarkan pengaruh kepada Sang Raja jelas tidak mudah. Keberhasilan kedua dai tersebut dalam mempengaruhi para penguasa untuk menerima agama Islam sebagai agama kerajaan merupakan sebuah keahlian yang harus selalu dikenang. Raja yang pertama menerima Islam sebagai agamanya adalah Raja Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Mannyonri, Karaeng Tumenanga ri Bontobiraeng. Baginda juga merangkap jabatan sebagai Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa. Menurut catatan lontara dan berbagai buku sejarah di Sulawesi Selatan bahwa tanggal resmi penerimaan Islam sebagai agama pada malam Jumat 22 September 1605 atau 9 Jumadil Awal 1014 Hijriah. Setelah resmi masuk agama Islam maka baginda langsung mendapatkan gelar sebagai Sultan, dan juga diberi nama Islam, nama resminya menjadi, Sultan Awwalul Islam. Tidak berapa lama kemudian Raja Gowa ke-14 yang bernama I Manngerengi Daeng Manrabia, turut memeluk Islam dan bergelar Sultan Alauddin. Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa dan Tallo telah selesai di-Islamkan dengan diadakannya shalat Jumat secara berjamaah pertama di Tallo pada tanggal 9 Nopember 1607, bertepatan dengan 19 Rajab 1016 H. Setelah Kerajaan kembar Gowa-Tallo menjadi kerajaan Islam dan raja-rajanya memperoleh gelar Sultan maka secara otomatis kerajaan ini telah menjadi pusat penyebaran Islam di daerah Sulawesi. Raja Gowa sebagai penguasa super power di daerah sulawesi mulai menampakkan pengaruhnya dengan menyerukan kepada seluruh raja-raja yang ada di sulawesi supaya menerima Islam sebagai agama tunggal, disamping itu memang sudah ada semacam konsensus antara raja-raja di Sulawesi Selatan bahwa, “Barang siapa yang menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan memberitahukannya pada raja-raja sekutunya”. Puncaknya pada tanggal 9 November 1667 Sultan Alauddin secara resmi mengeluarkan dekrit yang isinya menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan dan masyarakat Sulawesi Selatan. Setelah Sulawesi Selatan dapat diislamkan, maka tibalah gilirannya Sultan Alauddin yang juga berprofesi sebagai dai bersama Karaeng Matoaya (Mangkubumi) yang juga pamannya sendiri memperluas pengaruh dan wilayah melalui islamisasi pada kerajaan-kerajaan di sebelah Timur dan sebagian sebelah Barat. Bahkan supremasi dan dominasi Kerajaan Makassar meliputi separuh Nusantara, dari Sulawesi, Berau, dan Kutai (Kalimantan Timur), Nusa Tenggara minus Bali (karena sebelumnya telah terjadi perjanjian persahabatan antara kedua belah pihak), Makassar, Marege (Australia Utara), dan gugusan pulau Tinibar. Perluasan pengaruh dan dominasi Kerajaan Islam Makassar inilah menjadi cikal bakal munculnya Republik Indonesia yang kekuasaannya mempersatukan Nusantara dari Sabang sampai Marauke, dari Pualu Migas di sebelah Utara dan Sumba di sebelah Selatan. Kerajaan dengan pasukan tempur yang tangguh dan tak tertandingi plus gencarnya dakwah yang dilakukan oleh kerajaan Gowa-Tallo sebagai pemegang hegemoni politik dan supremasi di daerah Sulawesi atau Nusantara bagian timur menjadikan mereka dengan mudah menundukkan para raja yang enggan mematuhi dekrit. Kerajaan yang memeluk Islam karena kalah dalan peperangan adalah Sidenreng Rappang dan Soppeng pada tahun 1609, menyusul Wajo tahun 1610, dan terakhir adalah Bone pada tahun 1611 M. Pada umumnya Islam berkembang di Sulawesi Selatan dengan proses akulturasi, damai, dan apa adanya, di samping menghormati konsensus di atas, mereka juga cepat beradaptasi dengan kepercayaan ini, walaupun terdapat kerajaan yang pada mulanya enggang langsung menerima Islam sebagai agama Istana dan rakyat namun itu tidak seberapa. Wallahu A’lam! (Ilham Kadir, BA., Mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar & Peneliti di Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Indoneisa Timur)

Sejarah Dan Budaya Islam Kerajaan Bantaeng

Dalam setiap ritus tradisional, selalu ada dua kutub waktu yang selalu berhubungan; masa lampau dan masa sekarang. Masa lampau selalu dirujuk sebagai origins (asal mula) yang mesti dijaga otentisitasnya oleh masa sekarang. Rujukan ini salah satunya termanifestasi dalam ritus tahunan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang meyakininya saat ini. Meyakini berarti mengakui adanya nilai (serta transmisinya) yang tertanam dan berurat akar dalam sebuah ritus. Bahkan, ritus pada gilirannya akan mempresentasikan bagaimana suatu masyarakat berpikir dan bertindak tentang dan untuk dirinya secara antropologis. Untuk masyarakat Indonesia umumnya, dan masyarakat Sulawesi Selatan khususnya, faktor Islam memainkan peran sangat penting dalam ritus tradisional. Islam dapat menjadi kekuatan bermata dua dalam satu waktu, meski dimainkan oleh aktor berbeda. Ada aktor yang membawa Islam yang tidak bisa beriringan dengan budaya lokal, dan sebaliknya aktor lain berhasil melakukan infiltrasi (dengan berbagai coraknya), dengan memasukkan unsur-unsur Islam dalam tradisi lokal. Meski friksi antara kedua aktor tersebut menyurut, dua kekuatan Islam ini selalu hadir dalam setiap isu-isu tradisi atau budaya lokal. Islam di Sulawesi Selatan pun demikian. Bagaimana Islam dan nilai-nilai ke-Bugis-an dan ke-Makassar-an di Sulawesi Selatan bersinggungan, salah satunya dapat dilihat dalam semua ritus tahunan di daerah ini. Terlepas dari dominasi salah satunya (Islam dan Bugis/Makassar), interseksi itu misalnya dapat dilihat dalam upacara Maudu Lompoa (Maulid Besar) di Cikoang (Takalar), Maudu Lompoa (Maulid Besar) di (Maros), Accera Kalompoang (pencucian benda pusaka Kerajaan Gowa) di Sungguminasa (Gowa), Maggiri di Pangkep, Appalili di Bontonompo (Gowa), Marumatang di Duampanuae (Sinjai), Akkaraeng di Kelara (Jeneponto), dan masih banyak lagi tentunya. Tulisan ini ingin menggambarkan interseksi nilai-nilai Islam dan Makassar yang bertemu dalam upacara tahunan Pa'jukukang di Bantaeng (Sulawesi Selatan). * * * * * Bantaeng yang terletak 120 km arah Selatan kota Makassar, sebenarnya memiliki sejarah besar dan tua yang sayangnya tidak terekam dalam catatan-catatan sejarah resmi di Sulawesi Selatan. Bougas (1998) dan Ahimsa-Putra (1993) merupakan salah satu peneliti yang pertama-tama menulis sejarah bantaeng secara serius. Hal yang paling sering diangkat tentang kota kecil berjuluk Butta Toa (Tanah Tua) ini misalnya bahwa Bantaeng adalah satu dari tiga (Luwu dan Uda) kawasan dan kerajaan penting di Indonesia Timur yang dikenal oleh Kerajaan Singosari, sebagaimana yang terekam dalam Negarakertagama (1365 M.). Penanggalan ini menunjukkan bahwa Bantaeng telah sangat eksis dan diakui sebagai salah satu kekuatan politik sejak abad XIII, masa di mana kerajaan lain di Sulawesi Selatan belum eksis sama sekali. Reid (1999: 121) juga menjelaskan salah satu aspek sejarah yang menunjukkan superioritas Bantaeng atas Gowa, sebuah kerajaan terbesar di Indonesia Timur. Selain itu, di masa kolonial, Bantaeng merupakan sebuah afdeling, ibukota wilayah yang mencakup Selayar, Bulukumba, Bantaeng dan Jeneponto. Kembali ke sejarah Bantaeng, Ahimsa-Putra (1993) pernah mengemukakan dua versi sejarah kerajaan Bantaeng. Versi pertama ia temukan dari koleksi Goedhart (1920) dan pernah dipublikasikan dalam Adatrechtbundels (1933). Sementara itu, versi kedua ia dapatkan pada 1990 dari Massoewalle, seorang sulewatang (wakil raja Bantaeng) yang terakhir. Meski tidak berbeda secara signifikan, kedua sumber ini sepakat tentang Tomanurung sebagai faktor penting dalam menjelaskan sejarah kerajaan Bantaeng. Jika sejarawan Sulawesi Selatan hampir sepakat bahwa Tomanurung hanya turun di Luwu, maka orang Bantaeng juga meyakini bahwa ada Tomanurung yang turun di Bantaeng. Mitos Tomanurung (orang yang turun dari langit) memang sangat berpengaruh dalam menentukan state of origins sebuah komunitas di Sulawesi Selatan. Mitos ini juga ingin menunjukkan pengaruh drama kosmik dalam menentukan asal-usul, sebuah mitos yang sangat umum dalam masyarakat Austronesia. Singkat cerita, suatu ketika, Sawerigading (salah satu tokoh utama dalam epos La Galigo), Tomanurung yang mendarat di Luwu mengunjungi Bantaeng dengan berlabuh di Nipa-Nipa di pantai Pa'jukukang, saat ini berada di jalan poros Bantaeng-Bulukumba.[i] Di hari keempat, Sawerigading kemudian naik menuju Gantarang Keke, sebuah perbukitan di Kecamatan Gantarang Keke saat ini. Di sini, Sawerigading menikahi Dala, putri Bantaeng. Versi lain mengatakan bahwa yang menikahi Dala adalah seorang pangeran dari Cina (Salam 1997: 24). Pernikahan ini dikaruniai kelahiran anak bernama Karaeng Loe. Kelahiran Karaeng Loe yang menjadi cikal bakal raja-raja Bantaeng, diperingati setiap pada 10 Sya'ban di tiap tahunnya dan disebut upacara Pa'jukukang. Versi lain menjelaskan bahwa acara ini diinisiasi oleh Karaeng Gantarang Keke yang memerintah pada abad XIV setelah Bantaeng mengalami masa paceklik. Setelah berdoa di Balla' Lompoa (istana) bersama abdi kerajaan, tanah menjadi subur dan laut/sungai dipenuhi ikan. Untuk mensyukuri ini, maka diadakanlah upacara yang kemudian disebut upacara Pa'jukukang (Rizal et al 2004: 74-5). Perhitungan 10 Sya'bân ini juga dipadukan dengan perhitungan yang dilakukan secara sangat sederhana dan manual. Dalam Balla' Lompoa (rumah adat) di Gantarang Keke, ada seorang pinati (pelaksana adat/tradisi) yang rela tinggal seorang diri di Balla' Lompoa itu untuk menyalakan dian kanjoli (pelita) setiap malam. Di setiap tahun, perhitungan ini mulai dilakukan ketika ulang tahun (ritual Pa'jukukang) tiba (10 Sya'ban). Masyarakat di sekitas Balla' Lompoa memang selalu menyiapkan 360[ii] dian kanjoli setiap tahun. Sang pinati akan mengetahui hari Pa'jukukang tiba ketika semua dian kanjoli itu sudah habis (Asis 2006: 23). Saat ini, masyarakat pengunjung tetap acara ini telah menggunakan tanggal 10 Sya'ban untuk mengetahui waktunya. Pada setiap 10 Sya'ban, ribuan pengunjung dari segenap wilayah di Sulawesi Selatan, mengunjungi Bantaeng untuk melaksanakan ritual ini. Pelaksanaannya tidak hanya berlangsung selama sehari, tetapi berhari-hari, teapynya tujuh hari tujuh malam. Persiapannya telah dilakukan tiga bulan sebelum 10 Sya'ban. Pada saat itu, mereka melakukan kawaru (musyawarah) untuk membahas pelaksanaan ritual hingga masalah-masalah pertanian dan perikanan. Dalam kawaru ini, pinati akan memanggil/mengundang secara mistik para pengunjung dengan membaca (di luar kepala): btu Nes mko mai asiarai psosorn krea gtr ekek niaerk krea loea. Poro nlbua lloko aumurunu krea al tal nbtu Ges tpel. Battu ngaseng mako mae assiarai passossoranna Karaeng Gantarang Keke niareka Karaeng Loe. Poro nalabbuang laloko umuru'nu Karaeng Allah Ta'ala nubattu ngaseng tampole Datanglah Engkau semua menziarahi anak cucu Karaeng Gantarang Keke yang bernama Karaeng Loe. Semoga Allah memanjangkan umurmu, sehingga Engkau bisa datang lagi tahun depan. Salah satu hasil kawaru, akan ada pabala yang bertugas menentukan (memberi tanda pada) pohon kelapa yang baik, yang tidak boleh dipetik lagi hingga ritual Pa'jukukang itu mulai. Selain itu, ada juga jannang binanga yang bertugas memberi tanda larangan menangkap ikan di sungai yang akan digunakan sebagai tempat ritual. Ada juga tau toana yang bertugas menghiasi Balla' Lompoa, poko' erasa (pohon beringin) yang sangat besat di samping Balla' Lompoa, serta membangun baruga (tempat pertemuan) di bawah poko' erasa itu. Di depan Balla Lompoa, masih di bawah poko' erasa yang lain, ada sebuah bale-bale (balai kecil) yang dulunya digunakan raja-raja untuk duduk dan beristirahat. Pada tanggal 10 Sya'ban, sebelum acara dimulai, seorang yang disebut punjuku mengambil alat-alat penangkapan ikan dari tumappasere'na (sebuah rumah di Gantarang Keke) untuk dibawa ke Nipa-Nipa (Kec. Pa'jukukang) yang berjarak ±6km. Di jalanan, orang yang melihat punjuku akan berteriak "kalau'mi pajukuka" (nelayan sedang menuju laut). Di Nipa-Nipa, punjuku mengunjungi lebih dahulu batu samara[iii] untuk berdoa yang dilengkapi dengan pembakaran dupa. Setelah itu, pesta telah dimulai yang ditandai dengan penabuhan ganrang pakanjara (gendang). Punjuku kemudian pergi ke muara sungai untuk menebar jala, yang diiringi dengan teriakan "pajuku'mi tauwa" (kita telah menjadi nelayan). Ikan hasil tangkapannya kemudian dikirim ke pinati di Balla' Lompoa di Gantarang Keke sebagai tanda dan pemberitahuan bahwa pesta Pa'jukukang telah dimulai. Tanda lain yang menunjukkan adanya pesta Pa'jukukang di tempat itu adalah bendera merah putih yang dipasang di depan bangunan batu samara dan spanduk Latar Nusa[iv] bertuliskan: teb sipktauki Tabe' Sipakatauki Kita semua bersaudara Pesta diramaikan oleh pedagang dan pengunjung yang datang silih berganti selama empat hari di Nipa-Nipa. Pada pesta Pa'jukukang 1429/2008 yang penulis kunjungi dan amati ini, pesta berlangsung sangat meriah. Kawasan pinggir pantai yang setiap tahun menjadi tuan rumah hajatan ini tiba-tiba tersulap bak pasar malam. Kawasan sepanjang 200 meter ini dipenuhi oleh pedagang dan pembeli, lengkap dengan stand darurat mereka.[v] Para pedagang bahkan masih mengambil tempat di barisan kedua dan ketiga di belakang barisan pertama di dua sisi jalan, sehingga kadang membuat macet jalan propinsi/poros Bantaeng-Bulukumba itu. Mereka rata-rata pedagang keliling yang memang sering berjualan pada event-event tertentu seperti pasar malam di berbagai kota dan daerah. Pedagang yang penulis kunjungi rata-rata berasal dari Bulukumba, sebuah kabupaten tetangga Bantaeng. Mereka berjualan pakaian, alat-alat rumah tangga, mainan, hingga makanan. Mereka melakukan aktivitas jual-beli nan-stop 24 jam selama empat hari, siang dan malam. Mereka dan anak-anak mereka tidur di sekitar barang-barang jualan. Pengunjung yang datang lebih banyak melakukan transaksi jual-beli, atau membeli makanan dan dimakan di sana atau allampa nganre-nganre ri Pa'jukukang (Tasniah 2007: 6), dari pada sebagai pengunjung ritual. Di awal-awal acara, para pengunjung membeli ikan yang ditangkap punjuku dari sungai atau tambak raja. Ikannya dianggap memiliki kekuatan yang dapat menyehatkan badan, menyembuhkan dan menolak penyakit serta kekuatan-kekuatan jahat (Asis 2006: 18). Pengunjung ritual datang dari berbagai daerah. Biasanya, pengunjung ritual ini datang tiap tahun. Menurut salah satu informan, untuk kawasan Tompobulu, dataran tinggi yang menjadi field site penulis, pengunjungnya banyak berasal dari desa Bulu-Bulu. Pengunjung ritual ini bahkan datang dari luar Sulawesi Selatan, seperti Nusa Tenggara. Mereka datang untuk berdoa atau didoakan oleh pinati. Biasanya, mereka datang dengan membawa anggota keluarga serta makanan (nasi ketan hitam dan putih beserta lauk-lauk khas Bugis-Makassar). Ada juga yang membawa hewan (kambing atau ayam) sebagai seserahan dan kemudian disedekahkan kepada pinati. Mereka berdoa atau didoakan agar segala hajat, niat, nadzar dan keinginannya terkabul. Harapan mereka bermacam-macam, mulai dari masalah pertanian hingga jodoh. Salah satu bacaan yang penulis perhatikan adalah bacaan hamdalah dan shalawat yang dibacakan kemudian ditiupkan ke air mineral dalam botol. Air itu kemudian digunakan sebagai obat dan penangkal kejahatan. Selain itu, doa yang paling sering dipanjatkan oleh pinati iadalah: a krea al tal muhm. ser mgsiNi atnu. lbuaGi aumurun. nulmoriaGi del. O Karaeng Allah Ta'ala Muhammad, sare magassingi atannu, labbuangi umuru'na, nulammoriangi dalle'na. Ya Allah Ta'âlâ dan Muhammad, berilah kesehatan hamba-Mu, panjangkan umurnya, dan lapangkan rezekinya. Biasanya pada malam hari (pas setelah magrib), ada pertunjukan tari-tari tradisional serta seni-seni rakyat seperti sisempa' dan a'lanja. Sisempa' adalah saling menendang hingga ada yang mengaku kalah, sedangkan a'lanja adalah saling menendang betis hinga ada yang merasa kalah. Kedua seni rakyat ini biasa dilakukan oleh laki-laki dan anak-anak. Suasana keakraban dan canda tawa sangat dominan dalam pelaksanaan seni rakyat ini. Tanda akan dimulai seni rakyat ini adalah jika salah satu pinati (saat itu Kr. Sukku) telah mencabut bendera dan dibawa ke pinggir laut. Ia ditemani oleh dua penabuh ganrang pakanjara. Selama berjalan dari batu samara ke pinggir laut, ganrang pakanjara ditabuh. Orang-orang kemudian mengikuti rombongan ini ke pinggir pantai. Sisempa' dan a'lanja dilakukan malam hari pas setelah magrib. Pinati dan penabuh ganrang pakanjara biasanya mengundang penonton (laki-laki dan anak-anak) untuk saling mengadu kekuatan. (Fieldnote). Setelah empat hari (10-13 Sya'ban) di Nipa-Nipa, pesta kemudian berpindah ke Korong Batu, tujuh kilometer dari Nipa-Nipa ke arah Bulukumba. Lokasi pesta juga berada di salah satu ruas jalan poros Bantaeng-Bulukumba. Karena tanah berumput tersebut kosong, maka para pedagang hanya berjualan di ruas dalam jalan, berbeda dengan pesta di Pa'jukukang yang menggunakan dua ruas jalan. Pedagang yang ada di Karang Batu adalah pedagang yang berjualan di Nipa-Nipa sebelumnya. Namun jumlah pedagang di Korong Batu lebih sedikit dari pedagang di Nipa-Nipa. Pengunjungnya juga lebih sedikit. Stand dari bambu dan terpal milik pedagang diatur sedemikian rupa sehingga memiliki ruas dan blok yang dapat digunakan pengunjung/pembeli berjalan.[vi][vii] Batu samara di Korong Batu berada di belakang stand-stand pedagang, di tanah yang lebih tinggi. Sama dengan di Nipa-Nipa, batu samara juga berbentuk kuburan, tetapi bukan kuburan. Situ situ hanya dikelilingi oleh dinding setinggi satu meter seluas 2.5m x 4m. Atap sengnya ditopang oleh kayu yang ditancapkan di dinding batunya. Di depan situs itu terdapat sebuah balai-balai dan sebuah pohon agak besar. Bendera Merah Putih sebagai tanda pesta ditancapkan di pohon tersebut, sedangkan spanduk Latar Nusa ditempelkan di dinding situs tersebut. Acara dan materi ritual di Korong Batu yang berlangsung dua hari (hari kelima dan keenam) juga sama dengan yang di Nipa-Nipa. Para pedagang dan pengunjung menginap di stand masing masing dua hari dua malam (14-15 Sya'ban). Sementara itu, pada hari keenam (15 Sya'ban), masyarakat Di Gantarang Keke bersiap-siap menyambut tamu, pedagang dan pengunjung yang akan datang dari Korong Batu ke Gantarang Keke. Secara khusus, mereka akan bertindak sebagai tuan rumah, dengan menyajikan makanan khas pesta Pa'jukukang bernama kaloli yang terbuat dari beras ketan dan dibungkus daun janur. Bentuknya persegi empat, sekitar 3cm x 15cm. Kaloli biasanya dihidangkan dengan lauk lainnya, khususnya ikan. Ada yang percaya, bahwa daun janur yang telah dibuat kaloli, jika dibuang ke laut atau sungai, akan berubah menjadi ikan (Percakapan dengan Saliha, 17 Agustus 2008). Pada hari ke tujuh (16 Sya'ban), rombongan bergerak ke Gantarang Keke yang berjarak sekitar 10km dari Korong Batu. Balla' Lompoa di Gantarang Keke berbentuk rumah panggung kecil berukuran 4m x 6m, memiliki sembilan tiang, satu tangga dengan sembilan anak tangga, dan sebuah tumpukan batu berbentuk gunung di bawah rumah yang hampir mencapai lantai rumah. Balla' Lompoa dipagari dengan kayu berukuran 10m x 12m. Meski masih bagian dari pesta atau tradisi Pa'jukukang, orang-orang lebih banyak menyebut pesta yang diadakan pada hari ke tujuh dan ke delapan (16-17 Sya'ban) di Gantarang Keke ini disebut Pesta Adat Gantarang Keke. Ini juga terlihat dalam spanduk yang terpasang di jalan masuk lewat Dampang dan panggung acara. Kompleks Balla' Lompoa di Gantarang Keke terdiri dari satu Balla' Lompoa, tiga poko' erasa (pohon beringin) yang sangat besar, balai-balai raja di depan Balla' Lompoa, baruga (balai terbuka) di bawah poko' erasa terbesar, arena ammanca' (silat), dan pocci' butta (pusat bumi) berbentuk lingkaran elips. Dulu, ada empat bambang (gerbang utama yang hingga kini masih ada) yang digunakan tamu-tamu kerajaan masuk ke kompleks Balla' Lompoa: utusan Bone memasuki bambang dari arah Dampang; utusan Luwu menggunakan bambang dari arah Lembang; utusan Gowa menggunakan bambang dari arah Kaluku; dan utusan Bantaeng dan Binamu memasuki bambang dari arah Lembang Tanah Loe. Kompleks eksklusif itu dikelilingi oleh satu mesjid dan 31 rumah penduduk. Pesta Adat Gantarang Keke memiliki acara yang lebih bervariasi. Selain acara ritual dan pertunjukan seni rakyat, terdapat pesta makan kaloli dan electone (keyboard tunggal) yang menyajikan lagu-lagu daerah dan dangdut. Cara pengunjung ritual memasuki Balla' Lompoa juga unik. Saat melangkah menaiki tangga dan memasuki Balla' Lompoa, pengunjung mesti selalu meletakkan kaki kanan di depan; posisi terdepan kaki kiri hanya sejajar dengan kaki kanan. Ketika keluar, mereka mesti berjalan mundur.

Mesjid Tua Tompong Bukti Masuknya Islam Di Kab.Bantaeng

Mesjid tompong yang terletak di kelurahan letta, kecamatan Bantaeng, merupakan Mesjid tertua di kabupaten Bantaeng. Mesjid yang panjangnya 31 meter, lebar 21 meter, dibangun pada tahun 1885. Awalnya hanya sebuah langgar, namun pada tahun 1887, raja Bantaeng karaeng panawang, bersama adat 12 atau perangkat pemerintahan dijaman itu. Dibantu seorang dermawan asal kota wajo yang bernama haji labandu wajo, menGubah mushollah ini menjadi Mesjid. Haji labandu, mendatangkan arsitek, yang bernama lapangewa dari kabupaten bone. Di dalam Mesjid terdapat mimbar yang dibuat di singapura, selain mimbar, juga terdapat 2 buah al-qur’an yang ditulis tangan, dan 2 tatakan membaca al-qur’an, corong untuk adzan, beduk, serta lemari tua. Semua benda yang berusia 124 tahun ini masih terawat dengan baik. Sejak didirikan, Mesjid tompong tidak menggunakan kayu, akan tetapi sudah menggunakan tiang beton, 4 tiang ini bermakna. 4 kalifah sahabat raSuLullah muhammad salallahu alaiwasallam, dalam menyebar agama islam. 5 pintu menandakan, 5 rukun islam, dan 6 jendela yang berarti, 6 rukun iman. Akan tetapi salah 1 jendela yang terdapat di sisi kanan depan, tidak memiliki kayu tengah. Jendela ini khusus digunakan sebagai jalan masuk adat 12 jika mereka terlambat shalat berjamaah. Dipuncak Mesjid tidak terlihat kubah, akan tetapi terdapat guci mangkok, jaman dinasti ming. Selain digunakan sebagai tempat penyebaran agama islam di Bantaeng. Mesjid tompong juga digunakan sebagai tempat diskusi antara raja dan adat 12, dalam membicarakan keperluan dan mengambil keputusan untuk, rakyat Bantaeng kala itu.